Jumat, 30 September 2011

SEKOLAH UNTUK CINTA BELAJAR


Pendahuluan
Sebagai seorang pendidik rasanya hati ini belum puas dengan kedaan pendidikan dan pembelajaran di negara kita. Apalagi di jenjang pendidikan menengah, lebih khusus di Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketidakpuasan itu menyangkut masalah fokus dari pendidikan atau pembelajaran di tingkat sekolah. Kita perlu mengajukan beberapa pertanyaan: 1) apakah sekolah/guru sudah menfokuskan kebijakan/tindakan untuk kepentingan siswa?; 2) apakah sekolah selalu melibatkan siswanya dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan kesiswaan?; 3) apakah sekolah telah melakukan tes-tes untuk mengetahui bakat dan minat siswanya?; 4) apakah semua guru telah memahami gaya belajar/preferensi belajar siswa-siswanya; 5) apakah semua guru telah menyelenggarakan pembelajaran sesuai dengan gaya belajar dan preferensi belajar para siswanya; dan masih banyak lagi pertanyaan serupa yang perlu mendapat jawaban.
Berdasarkan pengamatan penulis, belum banyak sekolah yang melakukan pertanyaan-pertanyaan di atas. Penyusunan program tidak pernah melibatkan orang tua apalagi siswa. Sebagian besar sekolah buta tentang karakteristik siswanya. Guru, dalam menyelenggarakan pembelajaran hanya sesuai dengan kebiasaan yang telah dilakukan selama ini. Jika ada siswa yang kurang bisa menerima pelajaran, maka kambing hitamnya adalah siswa. Siswa dijadikan alasan pembenaran perilaku guru kepada mereka. Padahal, guru adalah pelayanan siswa, pelayanan dalam bidang pembelajaran. Guru itu digaji oleh masyarakat, dari iuran orang tua siswa atau dari Pemerintah yang bersumber dari uang rakyat.
Hal ini tentu tidak boleh terus berlanjut. Sudah saatnya kita melakukan kaji ulang terhadap apa yang selama ini dianggap sebagai kewajaran/kelumrahan. Jangan lagi mengorbankan siswa kita. Mereka adalah generasi penerus bangsa. Jika kita salah didik, maka bangsa ini bisa hancur di masa mendatang. Tulisan ini bertujuan melakukan kaji ulang hal-hal yang terkait dengan sekolah, belajar, pembelajaran, dan cinta belajar.
Sekolah untuk Belajar.
Anda perlu merenungi kembali, untuk apa Anda sebenarnya ke sekolah? Anda pasti menjawab untuk mencari ilmu, untuk belajar. Tetapi, Apakah anda sudah benar-benar belajar di sekolah? Dan, apakah sekolah betul-betul telah ”mensetting” Anda untuk belajar?
Jika Anda ke sekolah adalah untuk belajar, maka idealnya semua aktivitas yang Adna lakukan di sekolah, hendaknya ditujukan untuk belajar. Di kelas Anda belajar. Waktu istirahat Anda belajar. Waktu upacara Anda belajar. Waktu mengikuti ekstra kurikuler, Anda juga belajar. Guru memberi PR juga agar Anda belajar. Ulangan dan ujian pun tujuannya agar Anda belajar. Tentunya, tidak hanya sebatas materi saja yang Anda pelajari. Di luar kelas, Anda bisa belajar bagaimana menghormati guru, bergaul baik dengan teman, mentaati tata tertib sekolah, berbuat jujur, datang tepat waktu, dan masih banyak lagi. Jadi, semua yang Anda lakukan di sekolah harus mempunyai tujuan belajar, baik belajar tentang pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), maupun sikap dan nilai-nilai (attitude and values).
Kita juga masih perlu memilih definisi belajar yang kita yakini. Jika kita mendefinisikan belajar yang menekankan pada penambahan pengetahuan, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang  sudah dipelajarinya dalam bentuk tes tulis dengan mengikuti urutan kurikulum secara ketat, dan aktivitas pembelajaran lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku  teks, serta menekankan pada hasil akhir, maka kita masih menganut faham behavioristik. Tetapi apabila kita berasumsi bahwa belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi; guru berfungsi menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan; siswa bisa saja mempunyai pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalaman, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya; kebebasan adalah unsur esensial dalam belajar; kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai; dan kontrol belajar dipegang oleh siswa, maka kita menganut faham konstruktivis (Degeng, 2001).
Faham behavioristik telah lama kita anut dan menghasilkan keadaan seperti sekarang ini. Faham konstruktivis masih ragu untuk kita terapkan karena ada kegamangan, apakah itu bisa merubah keadaan menjadi lebih baik? Saat ini, sekolah perlu mengkaji ulang landasan-landasan yang digunakan untuk menyelenggarakan layanan jasa pendidikan. Kajian itu selayaknya menghasilkan program yang pro siswa, pro belajar. Artinya, program itu harus menjamin bahwa tujuan utamanya adalah agar siswa belajar, bukan yang lain. Dengan demikian, sekolah harus berhasil membuat siswa mampu belajar mandiri, yang dapat memahami dan mampu menerapkan belajar bagaimana belajar (learn how to learn). Tidak hanya sekedar siswa dapat menjawab soal dan mendapat nilai rapot/ijazah yang bagus.
Masalah yang sering muncul adalah bahwa guru, saat ini, merasa kesulitan untuk membuat Anda belajar. Banyak guru yang mengeluh bahwa sekarang ini Anda sulit sekali diajar. Anda itu inginnya bermain saja. Kalau diterangkan ramai. Kalau diberi PR jarang mengerjakan. Kalau diberi ulangan saling mencontoh. Para guru ini bingung menghadapi perilaku Anda. Ibarat pendekar, para guru kehabisan jurus menghadapi ulah Anda.
Bertahun-tahun penulis merenungi hal ini. Penulis akhirnya hanya mampu membuat beberapa dugaan. Pertama, bahwa mau mengakui atau tidak, para guru kekurangan ilmu atau ilmu yang dipunyai sudah usang untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Banyak para guru yang merasa ilmunya sudah cukup sehingga tidak perlu lagi belajar. Padahal tanpa sadar banyak pengetahuan yang dulu diperoleh di bangku kuliah sudah ketinggalan jaman. Pengetahuan itu apabila digunakan, tidak lagi relevan dengan perkembangan siswa, sudah tidak manjur lagi mengatasi masalah siswa saat ini. Jika guru merasa kesulitan membuat siswa belajar, maka semestinya guru itu sendiri yang harus belajar. Belajar untuk menemukan dan memecahkan masalah itu. Pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah kalau guru menyuruh siswa belajar, bagaimana dengan guru itu sendiri? Seharusnya lebih banyak mana belajarnya siswa dengan belajarnya guru?
Ke dua, para guru kurang menyadari, bahkan mungkin lupa bahwa para siswa adalah anak yang sedang belajar. Apakah layak anak yang sedang belajar kita salahkan? Apakah layak anak yang sedang belajar kita bentak? Apakah manusiawi kita mempermalukan Anda di depan teman-temanya karena melakukan kesalahan? Kesalahan adalah bagian dari belajar. Marilah kita belajar menghargai upaya/ikhtiar Anda, bukan hasil akhirnya.
Guru dalam mengajar, hendaknya menyesuaikan dengan karakteristik siswanya. Degeng (2007) misalnya, menyatakan bahwa siswa belajar  diibaratkan bagai air mengalir di sebuah sungai; mengalir, dinamis, penuh resiko, dan menggairahkan. Kesalahan, kreativitas, potensi, dan ketakjuban mengisi tempat itu. Mengajar diibaratkan bagai tukang bersih air sungai agar air dapat mengalir bebas hambatan. Tugas mengajar diibaratkan sebagai tugas mengangkat sampah dan kotoran lain, mengeruk lumpur dan pasir, dan memindahkan batu dan kayu dari sungai sehingga air dapat mengalir dengan baik. Oleh karenanya ketulusan hati, kesetiaan, kemesraan, kesabaran, cinta, suka cita, improvisasi, pengendalian diri memenuhi pekerjaan mengajar. Mengajar hendaknya menggunakan bahasa cinta. Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun.



Pembelajaran untuk Cinta Belajar.
Kalau guru sedang mengajar, ada anak yang tidak memperhatikan bahkan ramai sendiri (biasanya siswa lelaki), jangan terburu-buru menyalahkan siswa. Mari kita belajar dari Ibu Prashnig. Prashnig (2008) menyatakan bahwa sebagian besar siswa wanita mempunyai gaya belajar visual dan auditorial, sedangkan siswa pria banyak yang mempunyai gaya belajar kinestetik dan taktil. Siswa yang mempunyai gaya belajar visual akan lebih mudah belajar jika dapat melihat apa yang sedang dipelajari. Siswa dengan gaya belajar auditori mempunyai kecendrungan belajar dari suara, dialog, membaca keras, dan menceritakan pengalaman pada orang lain (Meier, 2002). Siswa kinestetik membutuhkan keterlibatan tubuh dan pengalaman fisik untuk memahami isi pelajaran. Siswa taktil adalah siswa penyerapan informasinya melalui kegiatan menyentuh dan menggarap berbagai benda. Anda belajar dan mengingat dengan baik melalui kegiatan yang menggunakan kedua tangan.
Bagaimana dengan proses pembelajaran di sekolah kita? Guru dalam menyajikan pembelajaran di sekolah kita saat ini lebih mengembangkan cara penyerapan informasi yang berbasis visual dan auditorial. Ceramah, membaca buku teks, presentasi dengan LCD, tanya jawab, tugas mengerjakan LKS mewarnai hari-hari di sekolah. Anak-anak kita sepertinya sudah hafal dengan aktivitas yang biasa Anda lakukan tiap hari, yaitu ”dudecak”: duduk, dengar, catat, kerjakan (Amin, 2007). Metode ini hanya menyenangkan dan menguntungkan bagi siswa yang gaya belajarnya visual dan auditorial. Anda sebagian besar siswa wanita. Dengan demikian kita tidak perlu heran jika siswa wanita lebih tertib dalam kelas, rajin mengerjakan tugas, dan akhirnya hasil belajar Anda lebih baik dari siswa pria.
Bagimana dengan siswa pria yang sebagian besar kinestetik dan taktil? Prashnig (2008) menggambarkan, jika Anda siswa taktil dan kinestetik, maka Anda calon-calon pelajar putus sekolah. Anda sangat tersiksa apabila harus duduk di kelas tanpa sesuatu pun yang dikerjakan. Anda dilarang untuk berjalan-jalan dan harus mendengarkan guru yang terus berbicara. Anda ini sungguh tidak tahan. Anda sebenarnya telah mengikuti saran para guru untuk mendengarkan, membaca, dan menulis. Tetapi Anda tidak berhasil karena Anda tidak menyukai hal itu. Satu-satunya pelajaran yang sangat Anda sukai adalah olah raga. Sebagai bentuk protes batin, Anda mulai bertingkah tidak disiplin: seperti baju di keluarkan, tidak pakai dasi atau kaos kaki. Anda sering berkumpul dengan teman-teman se kelas yang berpikiran sama untuk membentuk geng. Anda  sering ramai kalau guru menerangkan. Anda malas mengerjakan PR. Kemudian Anda sering tidak masuk sekolah. Karena, kalau masuk sering diomele gurunya. Dan,  ini membuat para  guru Anda pusing. Ini karena pembelajaran yang Anda terima tidak sesuai preferensi belajar Anda. Di sisi lain, guru Anda belum mau berubah, tetap seperti dahulu. Inilah yang membuat Anda tidak senang belajar, karena belajar hanya akan menyiksa diri Anda.
Kita saat ini perlu menfokuskan semua yang dilakukan untuk belajar siswa. Kita dapat memulainya dari mengetahui dan memahami kebutuhan belajar siswa. Tugas utama guru adalah menfasilitasi siswa agar dapat belajar (facilitate to learning). Semua hal yang menghalangi siswa belajar harus kita singkirkan. Dan, biarkanlah siswa belajar dengan caranya sendiri, bukan menurut cara guru, agar siswa mencintai belajar.
Anda melakukan beberapa hal agar Anda menjadi cinta belajar. Hal-hal tersebut adalah: 1) tanamkan persepsi positif tentang belajar; 2) belajarlah sesuai karekteristik Anda; 3) gunakan teknik-teknik belajar yang baik.
Tanamkan Persepsi Positif tentang Belajar
Langkah awal agar Anda cinta belajar adalah Anda harus mempunyai persepsi positif tentang belajar. Marzano, Pickering, dan Mc. Tighe (1993) menyatakan bahwa hal pertama yang harus ditanamkan pada diri siswa adalah sikap dan persepsi positif tentang belajar. Sikap ini yang akan menentukan perilaku siswa selanjutnya, apakah ia senang belajar atau tidak.
Anda perlu menanamkan persepsi positif ini pada diri Anda sejak pertama kali Anda menginjakkan kakinya di lingkungan sekolah. Upayakan sedemikian rupa agar Anda pulang sekolah dengan perasaan yang senang, karena guru-gurunya ramah, tata usahanya ramah, teman-temannya ramah, salah tidak dimarahi, dan sebagainya. Di sekolah banyak kesenangan. Senang bertemu teman baru. Senang bertemu guru-guru yang ramah dan lucu. Senang karena tidak banyak larangan untuk belajar sesuatu. Senang karena bisa bertanya kalau tidak tahu tentang sesuatu. Senang dan senang.

Belajarlah sesuai Karekteristik Anda
Setiap manusia mempunyai karakteristik yang khas dalam belajar. Mengenali gaya belajar Anda sendiri, merupakan hal penting. Karena, jika Anda belajar sesuai dengan gaya belajar Anda, maka Anda lebih enjoy dan hasilnya maksimal.
Jika Anda mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: lebih suka membaca sendiri daripada dibacakan; senang melihat segala sesuaatu yang teratur dan rapi; sulit/tidak dapat menerima petunjuk secara lisan tetapi harus ditulis;  suka mengerjakan teka-teki; mungkin bermasalah dalam berbicara; di kelas Anda suka memperhatikan wajah dan gerak-gerik guru secara intens; dan melihat sesuatu secara detail, maka Anda termasuk pembelajar visual.
Sebaliknya, bila Anda mempunyai ciri-ciri: mudah terganggu; suka mendengar daripada membaca sendiri, banyak bicara, pencerita yang baik, dapat bercerita lucu dan mencoba untuk melucu; dapat berdialog dengan baik; tulisan tangan atau gambar bisa saja jelek; mempunyai persepsi ruang dan waktu yang jelek;  dan mengalami kesulitan untuk mendengar dan mengambil catatan pada saat yang sama, maka Anda masuk pada kelompok pembelajar auditorial.
Demikian pula, apabila Anda mempunyai ciri-ciri: ingin selalu bergerak; ingin menyentuh hal yang Anda pelajari; sering menulis segala sesuatu; suka mempreteli peralatan dan kemudian memasang kembali; punya banyak hal untuk dimainkan; menunjuk sambil membaca; mengingat dengan berjalan dan melihat; dan membutuhkan obyek yang konkret sebagai bantuan belajar, maka Anda masuk pada katagori pembelajar kinestetik/taktil (Jensen dan Nickelsen, 2011: 35-37)
Gunakan Teknik-Teknik Belajar
Salah satu hal yang membuat Anda tidak senang belajar adalah Anda belajar sekedarnya saja. Belajar yang demikian tidak efisien. Anda membutuhkan waktu yang lama untuk mempelajari suatu materi. Tetapi, materi itu sulit Anda cerna. Kalupun sudah dapat Anda cerna, cepat hilang. Anda akhirnya frustasi. Dan, Anda belajar karena terpaksa.
Banyak strategi belajar yang dapat Anda gunakan untuk memaksimalkan hasil belajar Anda. Strategi mencatat materi dengan menggunakan peta konsep (concep map) atau peta pikiran (maind mapping) dapat Anda coba. Demikian pula beberapa stragi seperti: merangkum materi dalam bentuk tabel; membuat akronim dari hal-hal yang perlu kita hafal; dan membuat jembatan keledai dapat Anda manfaatkan untuk memaksimalkan belajar Anda. Kata kuncinya, apabila Anda ingin berprestasi luar biasa, maka belajar Anda harus luar biasa juga.
Penutup
Menjadikan Anda manusia yang cinta belajar membutuhkan belajar juga. Mulailah dari belajar mencintai guru Anda. Baru kemudian Anda dapat mencintai pelajarannya. Jika semua guru dicintai muridnya, berarti semua pelajaran dicintai muridnya. Bila semua siswa cinta semua pelajaran, siswa akan rindu ke sekolah, karena di sekolah penuh dengan cinta.
Karena sekolah adalah tempat belajar, maka siswa lambat laun akan cinta belajar. Dalam diri siswa tertanam kesan, dalam belajar ada sesuatu yang menyenangkan. Dalam belajar di sekolah ia memperoleh hal-hal baru yang bermakna bagi dirinya. Ketika belajar di sekolah, ia menemukan cinta sejati, cinta guru-gurunya, cinta teman-temannya, cinta semua orang. Setelah siswa ini lulus, ia akan mengajarkan cinta itu kepada siapa saja yang dijumpainya. Dan, kelak ketika ia menjadi dewasa ia tetap belajar, karena dalam belajar terdapat kesenangan, terdapat cinta.
Rujukan

Degeng, I.N.S. 2001. Teori Pembelajaran 2, Terapan, Jakarta, Program Magister Manajemen Pendidikan Universitas Terbuka.

Degeng, I.N.S. 2007. Orkestra Belajar-Mengajar Sukses: Indikator Guru Profesional dan Kompeten Memasuki era KTSP, Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan bagi Guru Sekolah Dasar dan Menengah, FMJJ, Jombang, 9 September
Jensen, Eric dan Nickelsen, LeAnn. 2011. Deeper Learning. Jakarta; PT Indeks.

Marzano, Pickering, dan McTighe. 1993. Assessing Student Outcome: Performance Assessment Using the Dimension of Learning Model. Alexandira Virginia: ASCD

Semiawan, Cony R.  2008. Belajar dan Pembelajaran Pra Sekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta. PT Indeks.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar