Minggu, 12 Agustus 2012

PERKEMBANGAN EMOSI SISWA SMP


OLEH SAIFUL AMIN

A.    Konsep Emosi.

Emosi menurut Sunarto dan Agung (2006:150) adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Sarlito (1982:59) berpandangan bahwa emosi merupakan warna afektif yang lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Warna afektif adalah perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan kita sehari-hari. Dari dua pengertian di atas dapat ditarik beberapa hal berkaitan dengan emosi, yaitu:
1.     emosi berada pada ranah afektif;
2.     emosi menyertai perbuatan kita sehari-hari;
3.     emosi menyangkut perubahan mental dan fisik;
4.     emosi berwujud tingkah laku yang nampak.
Dalam kaitannya dengan perubahan fisik yang nampak, Sunarto dan Agung (2006:150) mengidentifikasi beberapa perubahan-perubahan fisik pada saat emosi, antara lain berupa:
1.      reaksi elektris pada kulit, meningkat bila terpesona;
2.      peredaran darah, bertambah cepat bila marah;
3.      denyut jantung, bertambah cepat bila terkejut;
4.      pernafasan, bernafas panjang bila kecewa;
5.      pupil mata, membesar bila marah;
6.      liur, mengering kalau takut atau tegang;
7.      bulu roma, berdiri kalau takut;
8.      pencernaan, mencret-mencret kalau tegang;
9.      otot-otot, menegang atau bergetar kalu tegang atau takut.
Dari sisi mental, emosi dapat berupa cinta/kasih sayang; gembira; marah, takut, permusuhan, cemas, merasa bersalah, frustasi, dan cemburu. (Jersid, 1957, dalam Suanarto dan Agung, 2006:151, juga Slavin, 1997 dalam Nur, 2004:73)

B.     Ciri-Ciri Emosi Remaja

Sebelum menginjak pada pembahasan ciri-ciri emosi remaja, maka akan dideskripsikan dahulu konsep remaja. Ditinjau dari sisi tahapannya, Nberti (1957, dalam Makmum, 1985:3) menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai datangnya awal masa dewasa. Sedangkan Spronger  meninjau remaja pada sisi pertumbuhan. Remaja menurut Spronger (dalam Makmun, 1985:4) remaja adalah masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental, ialah kesadaran akan aku, berangsur-angsur menjadi jelasnya tujuan hidup, pertumbuhan ke arah dan ke dalam berbagai lapagnan hidup.
Berdasar pada definisi di atas, diketahui bahwa remaja berada pada masa transisi/perubahan, baik dari sisi fisik, kognitif, sosial, maupun mentalnya. Remaja dari sisi emosi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagaian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.

2.      Sering bertingkah laku kasar.
Tingkah laku kasar ini sebenarnya untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3.      Ledakan kemarahan.
Ledakan kemarahan diakibatkan  adanya kombinasi ketegangan psikologis,  biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu luas, pola makan yang tidak baik, tidur tidak cukup.
4.      Tidak/kurang toleran kepada orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri.
Hal ini terjadi karena remaja kurangnya rasa percaya diri. Remaja mempunyai pendapat bahwa ada jawaban yang absolut dan bahwa mereka mengetahuinya.
5.      Marah kalau ditipu.
Para remaja mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu.
6.      Pemberontak.
Gejala ini merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
7.      Konflik dengan orang tua.
Banyak remaja yang menginginkan kebebasa sebagai manifestasi perasaan sudah dewasa, sedang orang tua masih menganggap mereka sebagai anak-anak. Hal ini dapat memicu konflik dengan orang tua.
8.      Sering melamun.
Para remaja sering melamun memikirkan masa depan mereka. Banyak diantara mereka menafsirkan terlalu tinggi kemampuan mereka sendiri dan berpeluang memasuki pekerjaan serta memegang jabatan tertentu. (Suanrto dan Agung, 2006:155-156).

C.    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi Remaja.

Perkembangan emosi remaja ditentukan oleh berbagai faktor yang mana antara faktor yang satu dengan lainnya saling terkait. Faktor-faktor tersebut secara rinci dideskripsikan oleh Suanarto dan Agung (2006:156-164) sebagai berikut:
1.     Kematangan.
Kematangan berkaitan erat dengan pengalaman hidup untuk memahami makna yang sebelumnya belum dimengerti. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh, akan meningkatkan kematangannya dalam memberikan reaksi emosional secara terarah dan obyektif.
2.     Kemampuan belajar.
Kemampuan belajar remaja sangat mempengaruhi perkembangan emosinya. Ada beberapa jenis tipe belajar yang dilakukan oleh ramaja, yaitu:
a.      Belajar dengan coba-coba.
Remaja belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
b.      Belajar dengan cara meniru.
Hal ini dilakukan remaja dengan mengamati reaksi emosi teman sebaya atau orang lain. Kemudia ia mencontoh reaksi emosi tersebut pada saat mengalami peristiwa yang sama.
c.      Belajar dengan cara mempersamakan.
Remaja cenderung untuk mempersamakan dirinya denga tokoh yang diidolakan, termasuk dalam rekasi emosi yang dilakukan oleh tokoh yang diidolakan tersebut.
d.     Belajar melalui pengkondisian.
Remaja belajar memberikan reaksi emosional dengan diberikan kondisi-kondisi tertentu. Remaja berusaha membuat asosiasi reaksi emosional atas kondisi-kondisi berbeda tersebut berdasarkan pengalamannya.
e.      Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan/pelatihan.
Melalui pelatihan, para remaja dirancang untuk beraksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan  dicegah agar tidak beraksi secara emosional terhadap rangsangan yang tidak  menyenangkan.
3.     Keadaan fisik.
Remaja yang sehat umumnya perkembangan emosinya lebih optimal  dibanding remaja yang mendapatkan gangguna kesehatan fisik.
4.     Kemampuan intelektual.
Remaja yang pandai umumnya bereaksi lebih emosional terhadap berbagai rangsangan, dibanding dengan remaja yang kurang pandai. Namun remaja yang pandai lebih mampu mengendalikan ekspresi emosinya.
5.     Kondisi lingkungan.
Lingkungan yang sehat dan kondusif sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja. Remaja dari lingkungan yang tidak baik, umumnya kurang dapat mengendalikan ekspresi emosinya.
6.     Jenis kelamin.
Remaja laki-laki lebih sering dan lebih  kuat mengekspresikan emosinya dibanding perempuan. Ekspresi emosi berupa marah dianggap lebih cocok bagi laki-laki, sedang takut, cemas, kasih sayang dianggap lebih sesuai bagai perempuan.
7.     Jumlah keluarga.
Rasa cemburu dan marah labih umum  terdapat di kalangan keluarga besar, sedang rasa iri lebih umum  terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
8.     Pendidikan di keluarga.
Cara mendidik yang otoriter mendorong remaja mengembangkan emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif  atau demokratis mendorong berkambangnya semangat dan kasih sayang.

D.    Implikasi Perkembangan Emosi Remaja terhadap Pendidikan di Sekolah.
Ditinjau dari sisi usia, remaja berada pada usia sekolah. Hari-hari yang dilalui, dan aktivitas yang mereka lakukan banyak berada pada wiayah belajar dan sekolah. Para pendidik di sekolah semestinya memahami hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan emosi remaja, sehingga dapat menempatkan remaja ini pada proporsi sesuai dengan kondisi perkembangannya.
Karena remaja berada pada masa “panca roba”, beberapa diantara mereka oleh Slavin  disebut “kekacauan emosi” (1997, dalam Nur, 2004:74). Kekacauan emosi ditunjukkan dalam bentuk-bentuk: (1) perilaku murung; (2) putus asa; dan (3) marah yang tidak diketahui sebabnya. Bila kekacauan emosi tidak ditangani dan memperoleh bimbingan secara benar, maka bisa mengakibatkan hal-hal yang lebih parah seperti: (1) penyalah gunaan obat bius dan alkohol; (2) kejahatan, seperti pencurain, penjambretan, perampokan, dan sebagainya; (3) resiko hamil di luar nikah. (Nur, 2004: 74-75).
Untuk itu salah satu tugas orang tua, termasuk pendidik adalah memastikan dan membimbing meraka untuk melalui masa remaja itu dengan sebaik-baiknya agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani, mental, dan emosionalnya. Elias, Tobias, dan Friedlander (2003:33) berpesan kepada orang tua (termasuk guru) dengan menyatakan:
Tugas orang tua adalah memasktikan mereka sampai pada tujuan yang sebenarnya, yaitu menjadi orang dewasa yang memiliki kepekaan emosional dengan sedikit kecelakaan di sepanjang jalan dan membantu ketika mereka satu, dua kali terperosok dan mendapat masalah. Orang tua bukan mencoba membesarkan remaja super karana remaja super balum tentu menjadi orang dewasa yang beremosi seimbang dan sukses. Masa remaja adalah masa belajar untuk menjadi orang dewasa, bukan belajar menjadi remaja yang sukses.

Orang tua termasuk pendidik, perlu memahami hal-hal yang dibutuhkan oleh remaja agar perkembangan emosionalnya positif dan optimal. Berkaitan dengan hal tersebut, ada empat hal yang dibutuhkan oleh remaja, yaitu:
1.      Kasih.
Kasih sayang membentuk landasan kehidupan dan kerjasama keluarga. Kasih orang tua/guru dapat diwujudkan dalam bentuk: ucapan atau gerakan; merauakan prestasi yang diperoleh remaja; dan berbagi momen istemewa bersama mereka.
2.      Kelakar.
Berkelakar dan tertawa bukan hal yang sepele. Berkelakar dan tertawa merupakan vitamin penting untuk kejiwaan. Humor dapat mengurangi kemarahan dan stres serta meningkatkan toleransi. Humor akan membantu menciptakan suasana yang dirasakan nyaman oleh remaja. Cinta membuat dunia tetap berputar, sementara tawa membuat dunia menarik.
3.      Kaidah.
Kaidah bukan melulu berbentuk pengekangan, tetapi lebih berupa fokus dan arah serta penetapan batas. Kaidah dan batasan itu penting untuk memberi remaja fokus dan tujuan dalam menumpahkan energi mereka. Remaja menginginkan batasan dan disiplin, karena dua hal itu membantu mereka aman.
4.      Koreksi.
Koreksi yang dimaksud adalah menempatkan remaja lebih banyak menjadi kontributor dari pada konsumen dan lebih memiliki daripada membeli. Orang tua/guru perlu mengkomunikasikan nilai-nilai, aturan, dan harapan keapda remaja dengan jelas dan sungguh-sungguh. Koreksi menjadi penting, karena koreksi menyediakan konteks untuk memahami kaidah dan kasih serta menyediakan sumber kelakar. (Elias, Tobias, dan Friedlander,2003:34-109)
Dengan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka, maka guru dapat dapat menghadapi masalah emosi remaja di lingkungan sekolah dengan mengambil langkah-langkah berikut:
·         Dalam hal siswa yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka guru harus konsisten dalam mengelola kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa;
·         Bagi siswa yang suka berlaku kasar, maka hendaknya guru menfasilitasi mereka untuk mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas belajar mereka, dengan selalu mendorong mereka untuk bersaing dengan diri mereka sendiri.
·         Adanya ledakan-ledakan kemarahan siswa, sebaiknya guru memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pembicaraan,  dan memulai aktivitas baru. Jika masih belum mereda, maka guru dapat meminta bantuan guru konseling.
·         Untuk mengatasi pemberontakan siswa, guru dapat melakukan dua langkah, yaitu: (1) mencoba untuk mengerti mereka; dan (2) membantu siswa untuk dapat berhasil berprestasi dalam mata pelajaran yang diajarkan guru.
·         Bagi siswa yang mengalami konflik dengan orang tua di rumah, hendaknya guru dapat menjadi pendengar yang simpatik, apabila mereka berkenan menceritakan rahasia dirinya dan keluarganya.
·         Menghadapi siswa yang mempunyai kecakapan terbatas, tetapi selalu memimpikan kejayaan, maka guru dapat berusaha mendorong  siswa tersebut berusaha namun tetap mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan tujuan pengganti yang dapat menjadi alternatif solusi yang baik.

DAFTAR  RUJUKAN

Elias, J.M., Tobias, E.S., Friedlandeer, S. Briant, 2003, Cara-Cara Efektif Mengasah EQ Remaja, Mengasuh dengan Cinta, Canda, dan Disiplin, Alih Bahasa Ali Milandaru, Kaifa, Bandung.

Makmun, 1985, Psikologi Belajar, Alfabeta, Bandung.

Nor. Mohammad, 2004, Perkembangan Selama Anak-Anak dan Remaja, disadur dari Chapter 3 buku Educational Psycology Theory and Practice, Robert E. Slavin, Pusat Sain dan Matematikan Sekolah, Unesa, Surabaya.

Sarwoto, Sarlito Wirawan, 1991, Psikologi REmaja, Rajawali Press, Jakarta.

Sunarto, dan Ny. Hartono, B. Agung, 2006, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, Jakarta.