OLEH SAIFUL AMIN
A. Konsep Emosi.
Emosi menurut Sunarto dan Agung (2006:150) adalah pengalaman afektif
yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan
fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Sarlito (1982:59)
berpandangan bahwa emosi merupakan warna afektif yang lebih mendalam,
lebih luas, dan lebih terarah. Warna afektif adalah perasaan senang atau tidak
senang yang selalu menyertai perbuatan kita sehari-hari. Dari dua pengertian di
atas dapat ditarik beberapa hal berkaitan dengan emosi, yaitu:
1.
emosi berada pada ranah afektif;
2.
emosi menyertai perbuatan kita sehari-hari;
3.
emosi menyangkut perubahan mental dan fisik;
4.
emosi berwujud tingkah laku yang nampak.
Dalam kaitannya dengan perubahan fisik yang nampak, Sunarto dan Agung
(2006:150) mengidentifikasi beberapa perubahan-perubahan fisik pada saat emosi,
antara lain berupa:
1.
reaksi elektris pada kulit, meningkat bila terpesona;
2.
peredaran darah, bertambah cepat bila marah;
3.
denyut jantung, bertambah cepat bila terkejut;
4.
pernafasan, bernafas panjang bila kecewa;
5.
pupil mata, membesar bila marah;
6.
liur, mengering kalau takut atau tegang;
7.
bulu roma, berdiri kalau takut;
8.
pencernaan, mencret-mencret kalau tegang;
9.
otot-otot, menegang atau bergetar kalu tegang atau
takut.
Dari sisi
mental, emosi dapat berupa cinta/kasih sayang; gembira; marah, takut,
permusuhan, cemas, merasa bersalah, frustasi, dan cemburu. (Jersid, 1957, dalam
Suanarto dan Agung, 2006:151, juga Slavin, 1997 dalam Nur, 2004:73)
B. Ciri-Ciri Emosi Remaja
Sebelum menginjak pada pembahasan ciri-ciri emosi remaja, maka akan
dideskripsikan dahulu konsep remaja. Ditinjau dari sisi tahapannya, Nberti
(1957, dalam Makmum, 1985:3) menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode dalam
perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa
kanak-kanak sampai datangnya awal masa dewasa. Sedangkan Spronger meninjau remaja pada sisi pertumbuhan. Remaja
menurut Spronger (dalam Makmun, 1985:4) remaja adalah masa pertumbuhan dengan
perubahan struktur kejiwaan yang fundamental, ialah kesadaran akan aku,
berangsur-angsur menjadi jelasnya tujuan hidup, pertumbuhan ke arah dan ke
dalam berbagai lapagnan hidup.
Berdasar pada definisi di atas, diketahui bahwa remaja berada pada
masa transisi/perubahan, baik dari sisi fisik, kognitif, sosial, maupun
mentalnya. Remaja dari sisi emosi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
Sebagian
kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya
dengan kematangan seksual dan sebagaian karena kebingungannya dalam menghadapi
apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2.
Sering bertingkah laku kasar.
Tingkah laku
kasar ini sebenarnya untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3.
Ledakan kemarahan.
Ledakan
kemarahan diakibatkan adanya kombinasi
ketegangan psikologis, biologis, dan
kelelahan karena bekerja terlalu luas, pola makan yang tidak baik, tidur tidak
cukup.
4.
Tidak/kurang toleran kepada orang lain dan membenarkan
pendapatnya sendiri.
Hal ini
terjadi karena remaja kurangnya rasa percaya diri. Remaja mempunyai pendapat
bahwa ada jawaban yang absolut dan bahwa mereka mengetahuinya.
5.
Marah kalau ditipu.
Para remaja
mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif dan
mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap
serba tahu.
6.
Pemberontak.
Gejala ini
merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari
masa kanak-kanak menuju dewasa.
7.
Konflik dengan orang tua.
Banyak remaja
yang menginginkan kebebasa sebagai manifestasi perasaan sudah dewasa, sedang
orang tua masih menganggap mereka sebagai anak-anak. Hal ini dapat memicu
konflik dengan orang tua.
8.
Sering melamun.
Para remaja
sering melamun memikirkan masa depan mereka. Banyak diantara mereka menafsirkan
terlalu tinggi kemampuan mereka sendiri dan berpeluang memasuki pekerjaan serta
memegang jabatan tertentu. (Suanrto dan Agung, 2006:155-156).
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi Remaja.
Perkembangan emosi remaja ditentukan oleh berbagai
faktor yang mana antara faktor yang satu dengan lainnya saling terkait.
Faktor-faktor tersebut secara rinci dideskripsikan oleh Suanarto dan Agung
(2006:156-164) sebagai berikut:
1.
Kematangan.
Kematangan
berkaitan erat dengan pengalaman hidup untuk memahami makna yang sebelumnya
belum dimengerti. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh, akan meningkatkan
kematangannya dalam memberikan reaksi emosional secara terarah dan obyektif.
2.
Kemampuan belajar.
Kemampuan
belajar remaja sangat mempengaruhi perkembangan emosinya. Ada beberapa jenis
tipe belajar yang dilakukan oleh ramaja, yaitu:
a.
Belajar dengan coba-coba.
Remaja
belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
b.
Belajar dengan cara meniru.
Hal ini
dilakukan remaja dengan mengamati reaksi emosi teman sebaya atau orang lain.
Kemudia ia mencontoh reaksi emosi tersebut pada saat mengalami peristiwa yang
sama.
c.
Belajar dengan cara mempersamakan.
Remaja
cenderung untuk mempersamakan dirinya denga tokoh yang diidolakan, termasuk
dalam rekasi emosi yang dilakukan oleh tokoh yang diidolakan tersebut.
d.
Belajar melalui pengkondisian.
Remaja
belajar memberikan reaksi emosional dengan diberikan kondisi-kondisi tertentu.
Remaja berusaha membuat asosiasi reaksi emosional atas kondisi-kondisi berbeda
tersebut berdasarkan pengalamannya.
e.
Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan/pelatihan.
Melalui
pelatihan, para remaja dirancang untuk beraksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak beraksi secara emosional
terhadap rangsangan yang tidak
menyenangkan.
3.
Keadaan fisik.
Remaja yang
sehat umumnya perkembangan emosinya lebih optimal dibanding remaja yang mendapatkan gangguna
kesehatan fisik.
4.
Kemampuan intelektual.
Remaja yang
pandai umumnya bereaksi lebih emosional terhadap berbagai rangsangan, dibanding
dengan remaja yang kurang pandai. Namun remaja yang pandai lebih mampu
mengendalikan ekspresi emosinya.
5.
Kondisi lingkungan.
Lingkungan
yang sehat dan kondusif sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi remaja.
Remaja dari lingkungan yang tidak baik, umumnya kurang dapat mengendalikan
ekspresi emosinya.
6.
Jenis kelamin.
Remaja
laki-laki lebih sering dan lebih kuat
mengekspresikan emosinya dibanding perempuan. Ekspresi emosi berupa marah
dianggap lebih cocok bagi laki-laki, sedang takut, cemas, kasih sayang dianggap
lebih sesuai bagai perempuan.
7.
Jumlah keluarga.
Rasa cemburu
dan marah labih umum terdapat di
kalangan keluarga besar, sedang rasa iri lebih umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa
cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak
pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
8.
Pendidikan di keluarga.
Cara mendidik
yang otoriter mendorong remaja mengembangkan emosi kecemasan dan takut,
sedangkan cara mendidik yang permisif
atau demokratis mendorong berkambangnya semangat dan kasih sayang.
D.
Implikasi Perkembangan Emosi Remaja terhadap
Pendidikan di Sekolah.
Ditinjau dari sisi usia, remaja berada pada usia sekolah. Hari-hari
yang dilalui, dan aktivitas yang mereka lakukan banyak berada pada wiayah
belajar dan sekolah. Para pendidik di sekolah semestinya memahami hal-hal yang
berkaitan dengan perkembangan emosi remaja, sehingga dapat menempatkan remaja
ini pada proporsi sesuai dengan kondisi perkembangannya.
Karena remaja berada pada masa “panca roba”, beberapa diantara mereka
oleh Slavin disebut “kekacauan emosi”
(1997, dalam Nur, 2004:74). Kekacauan emosi ditunjukkan dalam bentuk-bentuk:
(1) perilaku murung; (2) putus asa; dan (3) marah yang tidak diketahui
sebabnya. Bila kekacauan emosi tidak ditangani dan memperoleh bimbingan secara
benar, maka bisa mengakibatkan hal-hal yang lebih parah seperti: (1) penyalah
gunaan obat bius dan alkohol; (2) kejahatan, seperti pencurain, penjambretan,
perampokan, dan sebagainya; (3) resiko hamil di luar nikah. (Nur, 2004: 74-75).
Untuk itu salah satu tugas orang tua, termasuk pendidik adalah
memastikan dan membimbing meraka untuk melalui masa remaja itu dengan
sebaik-baiknya agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani, mental,
dan emosionalnya. Elias, Tobias, dan Friedlander (2003:33) berpesan kepada
orang tua (termasuk guru) dengan menyatakan:
Tugas orang tua adalah memasktikan mereka sampai pada
tujuan yang sebenarnya, yaitu menjadi orang dewasa yang memiliki kepekaan
emosional dengan sedikit kecelakaan di sepanjang jalan dan membantu ketika
mereka satu, dua kali terperosok dan mendapat masalah. Orang tua bukan mencoba
membesarkan remaja super karana remaja super balum tentu menjadi orang dewasa
yang beremosi seimbang dan sukses. Masa remaja adalah masa belajar untuk
menjadi orang dewasa, bukan belajar menjadi remaja yang sukses.
Orang tua termasuk pendidik, perlu memahami hal-hal yang dibutuhkan
oleh remaja agar perkembangan emosionalnya positif dan optimal. Berkaitan
dengan hal tersebut, ada empat hal yang dibutuhkan oleh remaja, yaitu:
1.
Kasih.
Kasih sayang
membentuk landasan kehidupan dan kerjasama keluarga. Kasih orang tua/guru dapat
diwujudkan dalam bentuk: ucapan atau gerakan; merauakan prestasi yang diperoleh
remaja; dan berbagi momen istemewa bersama mereka.
2.
Kelakar.
Berkelakar
dan tertawa bukan hal yang sepele. Berkelakar dan tertawa merupakan vitamin
penting untuk kejiwaan. Humor dapat mengurangi kemarahan dan stres serta
meningkatkan toleransi. Humor akan membantu menciptakan suasana yang dirasakan
nyaman oleh remaja. Cinta membuat dunia tetap berputar, sementara tawa membuat
dunia menarik.
3.
Kaidah.
Kaidah bukan
melulu berbentuk pengekangan, tetapi lebih berupa fokus dan arah serta
penetapan batas. Kaidah dan batasan itu penting untuk memberi remaja fokus dan
tujuan dalam menumpahkan energi mereka. Remaja menginginkan batasan dan
disiplin, karena dua hal itu membantu mereka aman.
4.
Koreksi.
Koreksi yang
dimaksud adalah menempatkan remaja lebih banyak menjadi kontributor dari pada
konsumen dan lebih memiliki daripada membeli. Orang tua/guru perlu
mengkomunikasikan nilai-nilai, aturan, dan harapan keapda remaja dengan jelas
dan sungguh-sungguh. Koreksi menjadi penting, karena koreksi menyediakan
konteks untuk memahami kaidah dan kasih serta menyediakan sumber kelakar.
(Elias, Tobias, dan Friedlander,2003:34-109)
Dengan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka, maka guru dapat dapat
menghadapi masalah emosi remaja di lingkungan sekolah dengan mengambil
langkah-langkah berikut:
·
Dalam hal siswa yang cenderung banyak melamun
dan sulit diterka, maka guru harus konsisten dalam mengelola kelas dan
memperlakukan siswa seperti orang dewasa;
·
Bagi siswa yang suka berlaku kasar, maka
hendaknya guru menfasilitasi mereka untuk mencapai keberhasilan dalam
tugas-tugas belajar mereka, dengan selalu mendorong mereka untuk bersaing
dengan diri mereka sendiri.
·
Adanya ledakan-ledakan kemarahan siswa,
sebaiknya guru memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan
tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika masih belum
mereda, maka guru dapat meminta bantuan guru konseling.
·
Untuk mengatasi pemberontakan siswa, guru dapat
melakukan dua langkah, yaitu: (1) mencoba untuk mengerti mereka; dan (2)
membantu siswa untuk dapat berhasil berprestasi dalam mata pelajaran yang
diajarkan guru.
·
Bagi siswa yang mengalami konflik dengan orang
tua di rumah, hendaknya guru dapat menjadi pendengar yang simpatik, apabila
mereka berkenan menceritakan rahasia dirinya dan keluarganya.
·
Menghadapi siswa yang mempunyai kecakapan
terbatas, tetapi selalu memimpikan kejayaan, maka guru dapat berusaha
mendorong siswa tersebut berusaha namun
tetap mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan tujuan
pengganti yang dapat menjadi alternatif solusi yang baik.
DAFTAR RUJUKAN
Elias, J.M., Tobias, E.S., Friedlandeer, S. Briant, 2003, Cara-Cara
Efektif Mengasah EQ Remaja, Mengasuh dengan Cinta, Canda, dan Disiplin,
Alih Bahasa Ali Milandaru, Kaifa, Bandung.
Makmun, 1985, Psikologi Belajar, Alfabeta, Bandung.
Nor. Mohammad, 2004, Perkembangan Selama Anak-Anak dan Remaja, disadur
dari Chapter 3 buku Educational Psycology Theory and Practice, Robert E.
Slavin, Pusat Sain dan Matematikan Sekolah, Unesa, Surabaya.
Sarwoto, Sarlito Wirawan, 1991, Psikologi REmaja, Rajawali
Press, Jakarta.
Sunarto, dan Ny. Hartono, B. Agung, 2006, Perkembangan Peserta
Didik, Rineka Cipta, Jakarta.
masuk Pak Syaiful....
BalasHapus